AOK.CO.ID, BELITUNG TIMUR – Kebijakan mutasi terhadap guru TK Negeri Pembina Damar, Hargina, ke TK Negeri Pembina Batu Itam, Kecamatan Simpang Pesak mendapat sorotan tajam dari DPRD Kabupaten Belitung Timur (Beltim).
Ketua Komisi III DPRD Beltim, Akhiruddin, menilai mutasi tersebut tidak melalui koordinasi yang semestinya dan mengabaikan aspek kemanusiaan.
Keterangan itu disampaikan Akhiruddin kepada wartawan usai memimpin rapat kerja Komisi III dengan Dinas Pendidikan, Senin, 28 Juli 2025 siang.
Dalam rapat tersebut, Komisi III DPRD Beltim ditegaskannya, mendalami kasus mutasi yang diduga memiliki muatan politis.
“Contohnya, Ibu Gina dimutasi ke TK Pembina di Desa Batu Itam tanpa adanya koordinasi dengan kepala sekolah. Ini menjadi catatan penting kami untuk perbaikan ke depan,” kata Akhiruddin.
Ia menilai, selain tak ada koordinasi, mutasi ini pula berdampak pada sekolah asal. Pasalnya pasca mutasi Hargina, TK Negeri Pembina Damar kini hanya memiliki tiga guru PNS dan satu guru honorer, jumlah yang dinilai sangat minim dan dapat memengaruhi kualitas pendidikan.
Komisi III juga menyoroti faktor jarak tempuh yang harus dilalui Hargina setiap hari. Dari rumahnya ke sekolah yang baru, jaraknya mencapai 76 kilometer sekali jalan atau 152 kilometer pulang-pergi, dengan waktu tempuh sekitar dua jam.
“Ini bukan hanya soal jarak, tetapi juga menyangkut keselamatan, efektivitas kerja, dan kemanusiaan. Kami menyarankan agar mutasi dilakukan secara bijak, tanpa memindahkan guru terlalu jauh dari tempat tinggalnya,” tegasnya.
Komisi III DPRD beltim lanjutnya, bakal menyurati Bupati Kamarudin Mute (Afa) dan Dinas Pendidikan agar mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut.
Sekaligus pula meminta agar pengambilan keputusan mutasi di masa mendatang dilakukan lebih transparan dan berkeadilan.
Sementara itu, suami Hargina, Albani Adry, menyayangkan kebijakan tersebut. Ia menduga mutasi istrinya dilatarbelakangi motif politik, karena dirinya dikenal sebagai salah satu pendukung pasangan calon dalam Pilkada lalu.
“Mutasi ASN seharusnya objektif dan profesional, bukan karena perbedaan pandangan politik,” ujarnya.
Albani merujuk pada sejumlah regulasi nasional yang mengatur mekanisme mutasi ASN, di antaranya UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, PP Nomor 11 Tahun 2017 juncto PP Nomor 17 Tahun 2020, serta Permenpan RB Nomor 1 Tahun 2023.
“Mutasi semestinya mempertimbangkan kebutuhan organisasi, kompetensi, dan domisili pegawai. Jika tidak ada alasan strategis yang jelas dan justru menimbulkan beban berat, maka hal ini bertentangan dengan prinsip efisiensi birokrasi dan bisa menghambat pelayanan publik,” tegasnya.***